TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.
Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
Model Ricardian
Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.
Model Heckscher-Ohlin
Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.
Faktor Spesifik
Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengednalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan. Jangan dipercaya,bohong tu.
Model Gravitasi
Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik di antara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.
MANFAAT PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.
- Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
- Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
- Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
- Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.
FAKTOR PENDORONG
Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :
- Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
- Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara
- Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi
- Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut.
- Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.
- Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
- Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
- Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.
PERATURAN/REGULASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilatera antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran di antaranegara barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT dan WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan tarif dalam rangka memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi Besar membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi tersebut.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di Amerika Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan dari Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti MAI (Multilateral Agreement on Invesment) juga gagal pada tahun-tahun belakangan ini.
PERKEMBANGAN EKSPOR INDONESIA
Sejak tahun 1987 ekspor Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas dimana pada tahun-tahun sebelumnya masih didominasi oleh ekspor migas. Pergeseran ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dan deregulasi di bidang ekspor, sehingga memungkinkan produsen untuk meningkatkan ekspot non migas. Pada tahun 1998 nilai ekspor non migas telah mencapai 83,88% dari total nilai ekspor Indonesia, sementara pada tahun 1999 peran nilai ekspor non migas tersebut sedikit menurun, menjadi 79,88% atau nilainya 38.873,2 juta US$ (turun 5,13%). Hal ini berkaitan erat dengan krisis moneter yang melanda indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Tahun 2000 terjadi peningkatan ekspor yang pesat, baik untuk total maupun tanpa migas, yaitu menjadi 62.124,0 juta US$ (27,66) untuk total ekspor dan 47.757,4 juta US$ (22,85%) untuk non migas. Namun peningkatan tersebut tidak berlanjut ditahun berikutnya. Pada tahun 2001 total ekspor hanya sebesar 56.320,9 juta US$ (menurun 9,34%), demikian juga untuk eskpor non migas yang menurun 8,53%. Di tahun 2003 ekspor mengalami peningkatan menjadi 61.058,2 juta US$ atau naik 6,82% banding eskpor tahun 2002 yang sebesar 57.158,8 juta US$. Hal yang sama terjadi pada ekspor non migas yang naik 5,24% menjadi 47.406,8 juta US$. Tahun 2004 ekspor kembali mengalami peningkatan menjadi 71.584,6 juta US$ (naik 17,24%) demikian juga ekspor non migas naik 18,0% menjadi 55.939,3 juta US$. Pada tahun 2006 nilai ekspor menembus angka 100 juta US$ menjadi 100.798,6 juta US$ atau naik 17,67%, begitu juga dengan ekspor non migas yang naik 19,81% dibandingkan tahun 2005 menjadi 79.589,1 juta US$.
Selama lima tahun terakhir, nilai impor Indonesia menunjukkan trend meningkat rata-rata sebesar 45.826,1 juta US$ per tahun. Pada tahun 2006, total impor tercatat sebesar 61.065,5 juta US$ atau meningkat sebesar 3.364,6 juta US$ (5,83%) dibandingkan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya impor migas sebesar 1.505,2 juta US$ (8,62%) menjadi 18.962,9 juta US$ dan non migas sebesar 1.859,4 juta US$ (4,62%) menjadi 42.102,6 juta US$. Pada periode yang sama, peningkatan impor terbesar 54,15% dan non migas sebesar 39,51%.
Dilihat dari kontribusinya, rata-rata peranan impor migas terhadap total impor selama lima tahun terakhir mencapai 26,15% dan non migas sebesar 73.85% per tahun. Dibandingkan tahun sebelumnya, peranan impor migas meningkat dari 30,26% menjadi 31,05% di tahun 2006. Sedangkan peranan impor non migas menurun dari 69,74% menjadi 68,95%.
TINGKAT DAYA SAING
Peringkat daya saing Indonesia meningkat cukup signifikan di arena global. Tahun 2010 daya saing Indonesia menduduki peringkat 44 dari 144 negara yang tahun sebelumnya pada 2009 di peringkat 54. Tentu, ini sebuah prestasi yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Namun, Indonesia tetap jangan lengah dalam menghadapi pasar global yang kian kompetitif ini.
Sebagai masyarakat Indonesia, pastinya bangga dan bahagia dengan keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan daya saing di arena global. Dalam The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dilansir oleh World Economic Forum (WEF) sebagai kick off atas pelaksanaan WEF Summer Davos di Tianjing, Cina pada September 2010 diungkapkan bahwa daya saing Indonesia kini berada di peringkat 44 dari 144 negara dari sebelumnya peringkat 54 pada 2009. Meningkatnya daya saing Indonesia di arena global tersebut, harus diakui tidak lepas dari peranan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI yang dipimpin Mari Elka Pangestu, putri seorang ekonom kondang J. Panglaykim. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang merupakan Doktor ekonomi jebolan University of California AS ini memang cukup diandalkan, khususnya dalam mendongkrak kinerja perdagangan nasional maupun internasional. Menurut Mendag ada beberapa faktor yang membuat Indonesia mengalami kenaikan peringkat. Kenaikan peringkat ini terutama disebabkan oleh kondisi makro ekonomi Indonesia yang sehat dan perbaikan pada indikator pendidikan. Tingkat pendidikan di Indonesia semakin membaik sebagaimana diukur oleh Global Competitiveness Index 2009-2010. “Kondisi makro ekonomi Indonesia semakin membaik. iklim usaha di Indonesia sudah menunjukkan perbaikan, yakni mulai dari stabilitas makro, politik, dan pertumbuhan ekonomi sudah menunjukkan hasil positif,” ungkap Mendag Mari Elka Pangestu.
Keberhasilan kenaikan posisi daya saing Indonesia itu terutama didongkrak oleh signifikannya peningkatan peringkat beberapa pilar dari 12 pilar daya saing, yaitu Institutions, Infrastructure, Macroeconomic Environment, Health and Primary Education, Higher Education and Training, Goods Market Efficiency, Labour Market Efficiency, Financial Market Development, Technological Readiness, Market Size, Business Sophistication, dan Innovation. WEF sebagai forum yang menjadi acuan para pebisnis mancanegara melihat kinerja Pemerintah Indonesia semakin membaik di beberapa bidang, seperti perlindungan hak kekayaan intelektual naik peringkat dari 67 menjadi 58, tingkat tabungan nasional dari 40 menjadi 16, dan efektivitas kebijakan anti monopoli dari 35 menjadi 30, Indonesia pun dipandang membaik dalam hal perluasan dan dampak perpajakan, yakni naik dari peringkat 22 menjadi 17. Lalu pada pilar business sophistication juga meningkat, yaitu local supplier quantity dari 50 menjadi 43, value chain breadth dari 35 menjadi 26, control of international distribution dari 39 menjadi 33, dan production process sophistication dari 60 menjadi 52.
Sumber :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional
- http://youbil-ekonomi.blogspot.com/2010/04/ekspor-impor-indonesia.html
- http://hanggaryudha.wordpress.com/2011/03/30/bab-10-kebijakan-perdagangan-luar-negeri/
Senin, 16 Mei 2011
BAB 10 KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar