Kamis, 12 Mei 2011

BAB 2 SEJARAH EKONOMI INDONESIA DARI ORDE LAMA HINGGA ERA REFORMASI

PEMERINTAHAN ORDE LAMA

Keadaan ekonomi dan keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh : Inflasi yang sangat tinggi yang dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.

Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
• Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
• Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
• Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
• Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
• Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
• Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

PEMERINTAHAN ORDE BARU

Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1996 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun. Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri.

PEMERINTAHAN TRANSISI

Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar Bath Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual” karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut. Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis Asia. Rupiah mulai terasa goyang sekitar bulau Juli 1997. Menanggapi hal itu, pada bulan Juli 1997 BI melakukan 4 kali intervensi, yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak, nilai tukar rupiah dalam dolar AS terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah yakni Rp 2.682 per dolar AS. Dalam aksinya, pertama-tama BI memperluas rentang intervensi rupiah dari 8% menjadi 12%, tetapi akhirya juga menyerah dengan melepas rentang intervensinya, dan pasa hari yang sama juga rupiah anjlok ke Rp 2.755 per dolar AS. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya kurs rupiah terus melemah. Pada bulan Maret 1998 nilai tukar rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.

Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian Indonesia. Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkrit, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Tetapi, setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dolar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF.
Pada akhir bulan Oktober 1997, IMF mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal kehancuran perekonomian Indonesia. Paket program pemulihan ekonomi yang diisyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai tukar rupiah akan menguat dan stabil kembali. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa nilai rupiah terus melemah sampai pernah mencapai Rp 15.000 per dolar AS. Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu terus merosot membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan (letter of intent; LoI) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Januari 1998. Nilai kesepakatan itu terdiri atas 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), rekstrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi strukrural.
Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand, dua negara yang sangat seirus dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai dengan kesepakatan itu dengan IMF. Akhirnya pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa siundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal
1. Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korsel, Filipina dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam negeri maupun luar negeri (termasuk bank-bank di negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima letter of credit (L/C) dari bank-bank nasional dan investor-investor dunia) tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya; bahkan mereka juga tidak lagi percaya pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di dalam negeri.
2. Indonesia sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998 kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 miliar dolar AS. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki BI hingga awal Juni 1998 hanya 14.621,4 juta dolar AS.
Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintah dan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”. Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap 4 mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti. Kemudian, pada tanggal 14 dan 15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juaga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/i dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya Dr. Habibie, tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentik kabinet baru, awal dari terbentuknya

pemerintahan transisi.

Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi, setelah setahun berlalu, terlihat pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim orde baru, dan tidak ada perubahan yang nyata. Bahkan KKN semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul dimana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Akhirnya banyak kalangan lebih suka menyebutya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi.

PEMERINTAHAN REFORMASI

Pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilu, yang dimenangkan oleh PDI-P. Partai Golkar mendapat posisi ke dua. Bulan Oktober dilakukan SU MPR dan pemilihan presiden diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 1999, KH Abdurrachman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus dur terpilih sebagai presiden RI dan Megawati Soekano Putri sebagai wakil presiden. Pada awal pemertintahan reformasi maysarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan gus dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti KKN, supremasi hukum, HAM, penembakan Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI didalam politik. Dalam hal ekonomi, dibandngkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih sebagai presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan0ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktik KKN semakin intensif, ini berarti bahwa rezim Gus Dur tidak berbeda dengan rezim orde baru. Selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu hubungan pemerintah Indonesia dengan IMF juga tidak baik. Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip “once and for all”.

PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU

Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, sempat optimis kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun kedepan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Namun pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yaitu naiknya harga minyak mentah di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kenaikkan harga BBM di pasar internasional dari 45 dollar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dllar AS per barrel awal agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu anggota OPEC, Indonesia juga impor BBM dalam jumlah yang semakin besar dalam beberapa tahun belakangan. Akibatnya Indonesia bukan saja menjadi net oil importer, tetapi juga sudah menjadi pengimpor BBM terbesar di Asia.
Kenaikkan harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya pemerintah terpaksa mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak populis, yakni mengurangi subsidi BBM, yang ,menimbulkan harga minyak di dalam negeri meningkat tajam. Kenaikkan harga minyak ini juga menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Kombinasi antara kenaikkan harga BBM dan melemahnya nilai tukar rupiah akan berdampak pada peningkatan laju inflasi. Menurut data perkiraan dari BI (Agustus 2005), inflasi dari indeks harga konsumen cenderung berada pada tingkat yang cukup tinggi, yaitu sekitar 7,42%. Sementara menurut Citigroup, pada tahun 2005 inflasi Indonesia berada pada tingkat 6,2% dan merupakan tertinggi di antara banyak negara di Asia.
Menjelang akhir masa jabatan SBY yang akan berakhir tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yakni harga BBM yang terus naik dan kenaikkan harga pangan di pasar global. Kedua goncangan tersebut sangat mengancam kestabilan perekonomian nasional, khususnya tingkat inflasi.
Pada kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 yaitu pada tahun 2004-2009 utang negara kita mroket drastis dari 1275 triliun menjadi 1667 triliun. Dengan sistemkebijakan pemerintah SBY saat ini, rakyat dipaksa menanggung beban uatang para bankir lewat beragam pemotongan subsidi seperti pendidikan (BHP) dan kesehatan. Sekarang zamannya Indonesia Bersatu jilid II kita tidak bisa langsung mengetahui bagaimana kinerja pemerintah yang sekarang karena baru menjabat 2 tahun. Tapi melihat kondisi perekonomian Indonesia yang sekarang ini sulit rasanya menstabilkan ekonomi. Banyak sekali masalah penting di zaman pemerintah jilid I dan II yang hilang begitu saja tanpa tahu akhir inti dan akar kemana permasalahan itu berawal.

Sumber:
http://echaagunadarma.blogspot.com/2011/03/bab-2-sejarah-ekonomi-indonesia-sejak.html
http://hanggaryudha.wordpress.com/2011/03/23/bab-2-sejarah-ekonomi-indonesia-dari-orde-lama-hingga-era-reformasi/

1 komentar: